Membaca Ahmad Ali, Visi Kebangsaan dari Seorang Putra Daerah
Oleh Suhardi*
MEMBACA sosok Ahmad M. Ali berarti membaca sebuah cara pandang tentang Indonesia yang sedang mencari arah pembangunan yang lebih cerdas, berketangguhan, dan berpihak pada manusia.
Ia bukan sekadar politisi nasional yang telah lama bergelut di gelanggang kekuasaan, melainkan seorang pemikir dan putra daerah yang melihat pembangunan dari perspektif risiko, ekologi sosial, dan masa depan kawasan, yang jarang disentuh para elite politik.
Dalam sebuah perjumpaan pribadi di kediamannya di Jakarta belum lama ini, gagasan-gagasan pria kelahiran Wosu, Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah, tersebut seolah kembali mengemuka.
Pertemuan itu bukan sekadar percakapan politik, melainkan refresher intelektual tentang cara pandang baru terhadap pembangunan Indonesia.
Bagi Ahmad Ali, pembangunan tidak boleh lagi dipahami hanya sebagai urusan pertumbuhan ekonomi, melainkan harus menghitung risiko kebencanaan, daya dukung ruang, dan kerentanan kawasan.
Gagasannya mengenai perlunya perspektif baru dalam aglomerasi wilayah dan pemanfaatan zonasi ruang terasa relevan jika kita melihat tantangan Indonesia hari ini. Negara ini adalah salah satu kawasan paling rentan bencana di dunia—gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, likuefaksi.
Namun, selama puluhan tahun, pembangunan sering kali bergerak dengan logika sebaliknya yang menumpuk manusia dan sumber daya pada kawasan rawan. Maka cara pandang Ahmad Ali layak dipertimbangkan sebagai koreksi atas paradigma pembangunan yang terlalu lama didominasi pendekatan “ekonomi dulu, risiko menyusul”.
Di titik ini, pikiran Ahmad terasa lebih maju dibanding banyak politisi pada umumnya. Ia melihat risiko sebagai elemen desain pembangunan, bukan sekadar faktor mitigasi. Karena itu, dalam gagasan Road Map Perencanaan Daerah Sulawesi Tengah 2020–2045, ia mengusulkan agar desain tata ruang baru menempatkan kawasan tertentu seperti lembah Palu bukan semata sebagai ruang urban, tetapi sebagai pusat studi nasional penanggulangan bencana.
Ide ini bukan muncul dari ruang kosong. Palu dan Sulawesi Tengah adalah saksi tragedi 2018 yang memperlihatkan betapa rentannya wilayah tersebut terhadap gempa, tsunami, dan likuefaksi.
Namun alih-alih memandang tragedi hanya sebagai masa lalu yang menyakitkan, Ahmad Ali mencoba menafsirkannya sebagai modal pembelajaran nasional. Dengan menjadikan misalnya Balaroa dan Petobo sebagai pusat studi kebencanaan, Indonesia tidak hanya mengingat luka, tetapi mengolahnya menjadi kapasitas masa depan.
Gagasan yang Tumbuh dari Akar Sosial
Salah satu kekuatan Ahmad Ali adalah bahwa gagasan-gagasannya tidak lahir dari ruang akademik semata, tetapi dari pengalaman sosial yang ditapakinya sejak muda.
Ia tumbuh di sektor-sektor rakyat, mengenal kerasnya hidup petani, nelayan, dan pekerja informal. Itu sebabnya, ide-idenya seperti asuransi pertanian, asuransi nelayan, dan perlindungan bagi tenaga kerja informal bukan hanya wacana teknokratis, tetapi refleksi dari pengalaman sosial yang panjang.
Dalam konteks Indonesia yang jumlah pekerja informalnya mencapai lebih dari 80 juta orang, gagasan seperti itu sangat relevan. Data BPS menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka tidak memiliki jaring pengaman sosial memadai. Dengan demikian, inisiatif asuransi berbasis sektor rakyat bukan hanya isu ekonomi, melainkan juga keadilan sosial.
Ahmad Ali mengingatkan bahwa negara harus hadir bukan hanya melalui pembangunan fisik yang monumental, tetapi juga melalui perlindungan yang konkret bagi mereka yang hidup di sektor paling rentan. Di era ketika politik sering kali terjebak pada citra dan sensasi, sikap semacam itu menandakan identitas politik yang lebih substansial.
Visi dan Keputusan Politik
Dalam pada itu, perjalanan politik Ahmad Ali, termasuk keputusannya pindah ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI), patut dibaca bukan sebagai manuver pragmatis, tetapi sebagai bagian dari pandangan besarnya mengenai masa depan Indonesia.
Dalam politik modern, perpindahan partai selalu mengundang spekulasi, tetapi bagi seorang politisi yang membawa visi jangka panjang, langkah demikian sering berkaitan dengan ruang baru untuk mengartikulasikan gagasan, bukan sekadar strategi elektoral.
Membaca Ahmad Ali dengan demikian berarti membaca gambar besar tentang Indonesia: negara yang memerlukan pendekatan pembangunan baru, lebih ilmiah dalam membaca risiko, lebih manusiawi dalam membangun perlindungan sosial, dan lebih visioner dalam merancang tata ruang.
Sosok Autentik
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari sosok Ahmad Ali adalah identitas nasionalis-religius yang melekat kuat dalam kesehariannya. Ia tumbuh di lingkungan religius, tetapi bergerak dalam panggung nasional. Perpaduan itu menciptakan karakter unik, religiusitas yang membumi dan nasionalisme yang inklusif.
Di tengah polarisasi identitas yang kerap membelah bangsa, kehadiran politisi dengan sintesis semacam itu penting bagi Indonesia. Ia menampilkan bahwa agama dan nasionalisme bukan dua kutub yang berlawanan, tetapi dua pilar yang dapat menopang visi kebangsaan yang sehat.
Jika politik adalah arena untuk memperjuangkan gagasan, maka Ahmad Ali sedang memperlihatkan bahwa Indonesia membutuhkan politisi yang berpikir jauh ke depan, melampaui siklus pemilu lima tahunan.
Ia mengajak kita melihat pembangunan sebagai proyek jangka panjang yang memadukan ilmu pengetahuan, pengalaman sosial, dan keberanian memberi perspektif baru.
Dari Wosu hingga Jakarta, dari bencana hingga tata ruang, dari rakyat kecil hingga gagasan kebangsaan, Ahmad Ali adalah contoh bahwa politisi dapat menjadi pemikir publik yang membantu bangsa membaca masa depannya sendiri.
*) Suhardi, penulis adalah pendiri Kampung Institute, Wakil Ketua Komite Pemberdayaan Desa, Pesantren dan Pembinaan Usaha Mikro Badan Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah (BPP MES)
